KDRT Persfektif Hukum Pidana Islam

Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Islam
Ega Bemvinda
Hukum Keluarga Islam
Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung 
Egabemvinda04@gmail.com 

 Abstrak 
Perkawinan pada dasarnya memiliki tujuan untuk mencapai kehidupan yang bahagia, bisa menjadi tempat mencurahkan kasih sayang antara suami dan istri. Namun pada realitasnya menunjukkan banyak kasus KDRT terutama di kalangan masyarakat muslim, mencermati hal tersebut menimbulkan terjadinya kesalahpahaman di masyarakat, solah-olah Islam mentolerir kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya. Suami memang mempunyai hak untuk memukul istrinya dengan tujuan untuk mendidik dengan batasan-batasan yang telah ditentukan. Namun dapat ditegaskan jika Islam tidak pernah membenarkan kekerasan ataupun penganiayaan dalam keluarga. Kata kunci: kekerasan dalam rumah tangga, suami-istri

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah suatu ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan dengan mengucapkan ijab qabul yang menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban diantara keduanya, pernikahan bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Pernikahan merupakan salah satu perintah agama sebagaimana tertuang dalam surat ar-Rum ayat 21

: وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
Dikarenakan perkawinan merupakan hal sangat penting dalam kehidupan manusia, maka di Indonesia masalah perkawinan diatur dalam bentuk Undang-undang Perkawinan (UUP) No. 1 Tahun 1974 sesuai dengan isi Pasal 1 disebutkan bahwa : “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sementara dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu: akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.
Dalam perspektif ajaran Islam, pernikahan didalami sebagai sarana yang sangat sakral dan sarat dengan kemuliaan, keagungan dan keutamaan dalam upaya menjaga marwah dan kehormatan. Karna dengan pernikahan orang dapat menjaga dan memelihara diri dari berbagai hal yang diharamkan. Akibat dari adanya pernikahan tersebut adalah akan terbentuknya sebuah keluarga, karna dengan pernikahan akan menyatukan dua keluarga besar yaitu keluarga suami dengan keluarga istri. Selain itu ada keluarga kecil yang tercipta yaitu antara suami, istri dan anak.
 Dalam Islam, keluarga memiliki sebuah arti penting keluarga menjadi bagian dari masyarakat Islam karena disanalah pendidikan Islam pertama bagi seorang anak. Dalam Islam, keluarga dibangun dari suatu pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilaksanakan sesuai syariat agama Islam yang memenuhi syarat pernikahan dan rukun nikah yang ada.
 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai pemimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga timbul dari akibat adanya pernikahan atau perkawinan antara dua orang manusia ( perempuan dan laki-laki) yang sah menurut agama dan atau menurut negara.
Pada dasarnya pernikahan atau perkawinan dilandasi dengan perasaan cinta, saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain agar tercipta kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Pernikahan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Untuk memperoleh tujuan tersebut tentu memerlukan kerjasama antara seluruh anggota keluarga. Permasalahan atau konflik dalam rumah tangga adalah hal yang sangat wajar terjadi, baik antara suami dan istri maupun anak dan orangtua, karena tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa masalah. Setip keluarga memiliki cara masing-masing dalam menyelesaikan konflik. Jika konflik bisa diselesaikan dengan cara yang baik maka akan mendapatkan penyelesaian yang baik pula, tapi jika suatu permasalahan diselelsaikan dengan menggunakan emosi, dalam keadaan marah, kesal ataupun jengkel itu dapat berakibat buruk terutama menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga baik kekerasan fisik maupun psikologis. Segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Dalam perkembangannya kekerasan dalam rumah tangga masih merupakan masalah serius yang kurang mendapat perhatian masyarakat, dikarenakan beberapa alasan : rumah tangga memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga privasinya karena persoalannya terjadi dalam rumah tangga (keluarga).
2. Kekerasan dalam rumah tangga sering dianggap wajar karena adanya keyakinan bahwa memperlakukan istri sekehendak suami adalah hak suami sebagai pemimpin dan kepala dalam rumah tangga.
 3. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga yang legal yaitu perkawinan. Dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah seperti yang dicita-citakan suami istri pada kenyataannya banyak yang tidak sesuai dengan harapan, hal ini disebabkan oleh beberapa persoalan. Salah satu persoalan yang sering muncul dan menimbulkan perselisihan diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga.
 Rumah tangga diharapkan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi semua anggotanya, namun sebaliknya justru beberapa rumah tangga menjadi ajang tindak kekerasan. Undang-undang perkawinan yang ditetapkan pada tahun1974 telah memuat hal tersebut sebagai sebuah idealisme keluarga, hanya saja ketentuan-ketentuannya lebih banyak yang bersifat non hukum dalam arti tidak menimbulkan akibat hukum yang nyata bagi suami atau istri yang tidak menghormati dan mencintai pasangannya termasuk dengan melakukan kekerasan. Akibatnya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak dianggap sebagai peristiwa hukum, melainkan sebagai dinamika perkawinan, dengan demikian orang yang mengalami tindak kekerasan oleh sesama anggota keluarga tidak berhak atas perlindungan dari negara dan masyarakat. Tiadanya perlindungan hukum ini secara sistematis menyebabkan kekerasan dalan rumah tangga dianggap sebagai perilaku yang wajar.

KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan tujuan tertentu baik untuk mendidik ataupun untuk menyakiti. Dalam konteks ini sebagian besar pelaku dari kekeran dalam rumah tangga adalah suami terhadap istrinya, tapi kekerasan juga dapat dilakukan oleh istri atau anak.
Kekerasan adalah bentuk pelanggaran HAM karena didalamnya terdapat perampasan hak seseorang seperti hak mendapatkan keamanan, dan hak hidup bahagia. Kekerasan dalam rumah tangga adalah pemicu kekacauan yang dapat berakibat pada perpisahan atau perceraian. Karna tidak ada rumah tangga yang akan berjalan harmonis jika didalamnya terdapat kekerasan dalam bentuk apapun baik fisik, psikologis, ekonomi, seksual, pemaksaan, perampasan kemerdekaan atau penelaantaran yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan seseorang.
Dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, hanya sedikit yang sudah diseselaikan secara adil. Padahal payung hukum mengenai KDRT di Indonesia sudah tertuang dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hal ini dikarenakan kebanyakan masyarakat memandang bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai aib keluarga atau sebagai rahasia yang tidak layak dan tidak pantas untuk diketahui publik. KDRT adalah situasi yang sering terjadi dalam ruang lingkup keluarga.
Ruang lingkup keluarga yang dimaksud antara lain: Suami, isteri, dan anak Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud nomor 1 karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut Kekerasan juga bukan disebabkan sistem patriarki atau karena adanya subordinasi kaum perempuan, karena laki-laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia lebih banyak menyebutkan wanita sebagai korban, itu semata-mata karena data laki-laki sebagai korban kekerasan tidak tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada kaitannya dengan penyetaraan hak laki-laki atau perempuan.
Gagasan anti-KDRT dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru bias gender. Lebih dari itu, kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal. Pertama, faktor individu. Tidak adanya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami-istri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’, termasuk melakukan tindakan KDRT. Kedua, faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan.
 Lebih jauh lagi, kekerasan dijelaskan dalam Bab III pasal 5 sampai dengan pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004 mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan diataranya dengan cara:
 1) Kekerasan fisik, yaitu suatu kekerasan yang dapat mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2) Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang menimbulkan ketakutan, hilangnya kepercayaan diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, merasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
 3) Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang berada dalam lingkungan rumah tangga tersebut, dan pemaksaan yang dilakukan kepada salah seorang anggota keluarga untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuam komersial atau dengan tujuan tertentu.
4) Penelantaran rumah tangga, penelantaran ini tidak hanya berlaku pada suami melainkan semua orang yang berada dalam lingkungan rumah tangga itu dapat dikatakan menelantarkan rumah tangga jika menurut hukum yang berlaku ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan orang tersebut. Penelantaran juga berlaku pada setiap orang dalam rumah tangga itu yang memberikan batasan dan melarang orang lain untuk berkerja dengan layak, sehingga orang yang dilarang bekerja itu seakan-akan dikendalikan oleh orang lain dalam rumah tangga.

PEMBAHASAN

Pada pembahasan ini penulis membatasi kekerasan yang akan di bahas adalah mengenai kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Dalam hukum pidana Islam kekerasan merupakan tindak pidana (jarimah). Kekerasan adalah perbuatan menyakiti badan orang lain tapi tidak sampai menghilangkan nyawa seseorang, yang termasuk perbuatan kekerasan diantaranya adalah pemotongan anggota badan, pelukaan, pemukulan, perbuatan menyakiti, merusak badan, pencekikan, penempelengan dan lainya.
 Dalam hukum pidana Islam kekerasan adalah perbuatan tindak pidana atas selain jiwa. Pemahaman dan penafsiran masyarakat atas ayat-ayat Al-Quran dan hadist yang keliru menyebabkan asumsi di masyarakat bahwa melakukan kekerasan dianggap boleh dan dibenarkan. Terutama kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Kebanyakan dari mereka menganggap kekerasan yang dilakukan suami adalah sesuatu yang wajar dan dianggap sebagai cara suami mendidik istrinya. Pandangan yang keliru itu merujuk pada ayat Al-Quran yang hanya dipahami secara tekstual saja. Ayat-ayat tersebut diantaranya

: لرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An-nisa : 34)
Jika ayat ini dipahami secara tekstual saja tentu akan menimbulkan pemahaman bahwa pemukulan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dianggap diperbolehkan karna ayat ini menyatakan demikian. Dalam hal ini suami dianggap sebagai pemimpin yang mutlak karna laki-laki dianggap memiliki kesempurnaan akal, kekuatan fisik, kematangan berpikir, memiliki penilaian yang tepat dan dianggap memiliki kelebihan dalam amal dan kesalehan dibanding perempuan. Laki-laki juga dianggap mempunyai kekuasaan penuh terhadap istrinya, tentunya saja pemahaman ini sangat keliru dan tidak sesuai dengan makna yang dimaksud sebenarnya. Lantas bagaimana Islam mengatur batas kekuasaan sami terhadap istrinya, terutama dalam hal melakukan kekerasan dengan tujuan untuk mendidik.
Pada dasarnya Islam tidak pernah membenarkan kekerasan, para fukaha telah sepakat bahwa suami berhak mendidik istrinya atas maksiat yang tidak terkena hukuman huddud, seperti menemui non muhrimnya, keluar rumah tanpa izin, mendurhakai perintah suami dan lainnya. Suami tidak boleh memukul istrinya hanya karena istri dikhawatirkan nusyuz, maka dari itu suami tidak boleh memukul istrinya apabila belum tampak kesalahannya dan belum benar-benar terjadi. Imam malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istri atas maksiat pertama yang dilakukannya.
Pemukulan dibolehkan atas maksiat yang sering dilakukan istri. Jika istri mendurhakai suami untuk yang pertama, suami menasihatinya dengan lembut dan halus. Jika mengulanginya lagi, suami berhak meninggalkannya. Jika ia mengulanginya lagi, suami berhak memukulnya. Karna maksud mendidik adalah untuk mencegah terjadinya maksiat dikemudian hari maka dilakuka dengan cara yang paling ringan. Berdasarkan pendapat tersebut, suami yang memukul istrinya pada kesalahan pertama dan kedua, suami harus dijatuhi hukuman, sedangkan suami yang memukul istrinya pada kesalahan ketiga tidak mendapatkan hukuman karna suami mempergunakan haknya dalam batas-batas yang telah ditentukan.
Tapi suami akan dijatuhi hukuman jika memukul istrinya yang melakukan maksiat pada ketiga kalinya apabila pada maksiat sebelumnya tidak memberikan nasihat. Batasan pemukulan suami diatur dalam Islam. Suami tidak berhak memukul dengan sesuka hati karna hak suami terbatas pada memukul yang tidak melukai. Pukulan yang tidak melukai adalah pukulan yang tidak keras dan tidak menyebabkan sakit yang berlebihan, pukulan tidak boleh dilakukan di area wajah, kepala dan tempat-tempat yang mengkhawatirkan seperti perut. Pukulan disyaratkan untuk mendidik dan tidak berlebihan. Pendidikan atau pemukulan tersebut dapat dilakukan menggunakan tangan, cambuk atau tongkat. Sedangkan hukum suami yang melampaui batas terhadap istrinya terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
 Pendapat pertama Imam Malik dan Imam Ahmad Bin Hanbal berpendapat jika suami memukul dengan pantas dan dianggap untuk mendidik maka suami tidak bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi terhadap istrinya. Sebaliknya, jika suami memukul secara berlebihan dan tidaka pantas dianggap sebagai pendidikan maka suami harus bertanggungjawab. Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan Iman Syafi’i, suami bertanggungjawab atas kerusakan pada istrinya baik pemukulannya dianggap sebagai pendidikan maupun lebih keras dari itu.
Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Perlu ditegaskan bahwa kekerasan ini juga bisa menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa laki-laki atau perempuan. Berikut ini beberpa perilaku jarimah dan sanksinya menurut Islam terhadap pelaku.
Pertama Qadzap, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi maka deralah 80 kali” (QS an-Nur: 4-5).
 Kedua membunuh, yakni menghilangkan nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qhishas (hukuman mati). Firman Allah SWT: “Diwajibkan atas kamu qhishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” (QS al-Baqarah [2]: 179).
 Ketiga sodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata Rasulullah bersabda : “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya”. Sanksi hukumannya adalah ta’zir berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.
 Keempat penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukumannya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerangan terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata ½ diyat (50 ekor unta), satu kaki ½ diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta.
 Kelima perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau wanita itu ada dalam kendalainya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal. Keenam penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara selama 4 tahun.

Dengan merujuk pada hukum syara diatas jelas Islam sangat melawan segala bentuk kekerasan baik fisik maupun psikis. Dalam konteks berumah tangga Islam menggaris bawahi dalam kerangka menuju ridha Allah swt. Nuansa ibadah inilah yang dapat menghindari KDRT. Karena itu dibutuhkan relasi yang harmonis, termasuk pembagian fungsi dan peran masing-masing secara seimbang dan penuh rasa keadilan.

 PENUTUP

Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian, anti kekerasan dan membenci segala bentuk penganiayaan terhadap perempuan. Islam memandang laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kesetaraan yang sama di hadapan Allah, hanya ketakwaan yang dapat membedakan kedudukannya dimata Allah. Perkawinan merupakan sarana bagi seorang muslim untuk mencapai kehidupan yang sakinah, mawaddah dan warrahmah, menjadi tempat berlindung bagi istri kepada suaminya, menghindarkan dari zina dan lainnya. Namun disisi lain banyak pernikahan yang diwarnai dengan kekerasan baik kekerasan seksual, fisik, psikologis dan ekonomi.
 Islam memandang KDRT sebagai bentuk kriminalitas dan bentuk intimidasi terhadap perempuan yang berakibat pada hukuman terhadap pelaku dan telah melanggar nilai-nilai Islam.


Daftar Pustaka
 Departemen Agama RI Al-Quran dan Terjemahannya [QS ar-Rum: 21]
 Mukhlas, Oyo Sunaryo. Pranata Sosial Hukum Islam. Cetakan 1, (Bandung: PT Refika Aditama, 2015).
Didib Nuhatama. Makalah Kekerasan Rumah Tangga. http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html
 Afriendi. Perspektif Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap istri dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2004. http://www.forumsatunews.com/berita-afriendi-perspektif-hukum-pidana-islam-mengenai-kekerasan-fisik-terhadap-isteri-dalam-uu-no-23-tahun.html
Abdul Aziz. Islam dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://journal.uinjkt.ac.id
 Fajar Ashar. Pengertian KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). http://pengertianahli.id/2013/12/pengertian-kdrt-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html# Farid Ma’ruf. Pandangan Islam terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga. https://baitijannati.wordpress.com/2007/02/02/pandangan-islam-terhadap-kekerasan-dalam-rumah-tangga/ Afif. Analisis KDRT Menurut Hukum Islam. https://cafabellah.blogspot.com/2017/03/analisis-kdrt-menurut-hukum-islam.html Audah, Abdul Qadir. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (Bogor: PT Kharisma Ilmu) Untung Tri Winarso. Perspektif Islam Tentang KDRT. https://untungtriwinarso.wordpress.com/2013/01/14/perspektif-islam-tentang-kdrt/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bicara Soal Bahagia

Maaf