PENDAMPINGAN DAN PENANGANAN PERKARA WASIAT
Oleh
Ega Bemvinda
Abstrak
Kebutuhan terhadap bantuan hukum bagi seseorang yang sedang menghadapi masalah hukum merupakan sesuatu yang sangat penting, terlebih lagi jika yang beperkara adalah mereka yang kurang faham mengenai hukum, maka dengan adanya pendamping akan mempermudah pihak yang beperkara untuk memahami permasalahan yang sedang mereka hadapi.Perkara wasiat meruapkan salah satu perkara yang menjadi kekuasaan absolut dari Pengadilan Agama. Ketika terjadi suatu perkara wasiat ada dua cara yang dapat ditempuh untuk menanganinya, yaitu melalui cara litigasi dan nonlitigasi.
Pendahuluan
Setiap orang yang berperkara di Pengadilan berhak memperoleh bantuan hukum. Tujuannya untuk membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancsila, hukum dan keadilan. (ps. 35, 37 UU No 14/1970)HIR dan RBG tidak mewajibkan para pihak berperkara untuk meminta bantuan hukum atau adanya pendampingan oleh penasehat hukum. Apabila ia menghendaki bantuan hukum, dapat meminta bantuan hukum kepada penasehat hukum. Oleh karenanya Hakim wajib memeriksa perkara yang diajukan kepadanya meskipun tampa bantuan hukum dari Penasehat hukum.
Pemberian bantuan hukum didepan Pengadilan akan terkait dengan masalah Penasehat Hukum, pemberian kuasa, dan surat kuasa. Hal ini penting karena menyangkut apakah bantuan hukum yang dilakukan oleh penasehat hukum telah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga dapat diterima sebagai penasehat hukum atau tidak sesuai sehingga ham ditolak untuk menjadi penasehat hukum
Pembahasan
Mengenai pemberi bantuan hukum telah dijelaskan pada Pasal 2 disebutkan bahwa: "Paralegal yang diatur dalam Peraturan Menteri ini merupakan Paralegal yang melaksanakan pemberian bantuan hukum dan terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum." Jadi yang dapat memberikan bantuan hukum menurut pasal ini adalah mereka yang telah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum."
Namun ada beberapa kondisi yang memungkinkankan pemberi bantuan hukum berasal dari mereka yang tidak terdaftar pada Pemberi Bantuan hukum seperti yang dijelaskan Pasal 3: "Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum secara litigasi dan nonlitigasi kepada Penerima Bantuan Hukum. Dalam memberikan Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum berhak melakukan rekrutmen Paralegal sebagai pelaksana Bantuan Hukum. Pemberi Bantuan Hukum dapat merekrut Paralegal di luar pelaksana Bantuan Hukum yang telah terdaftar jika: "ketersediaan jumlah pelaksana Bantuan Hukum tidak mencukupi dalam menangani perkara; dan/atau tidak terdapat Pemberi Bantuan Hukum di wilayah tempat tinggal Penerima Bantuan Hukum."
Seperti yang telah disinggung pada Pasal 3 diatas bahwa pemberi bantuan hukum dapat memberikan bantuan hukum baik secara litigasi maupun nonlitigasi, ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum secara litigasi dan nonlitigasi lebih jelasnya telah termuat pada Pasal 12 dan Pasal 13 sebagai berikut:
"Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi oleh Paralegal dilakukan dalam bentuk pendampingan advokat pada lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang sama.
Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan, dan penuntutan; pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pendampingan advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan surat keterangan pendampingan dari advokat yang memberikan Bantuan Hukum.
Pasal 13
Namun ada beberapa kondisi yang memungkinkankan pemberi bantuan hukum berasal dari mereka yang tidak terdaftar pada Pemberi Bantuan hukum seperti yang dijelaskan Pasal 3: "Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum secara litigasi dan nonlitigasi kepada Penerima Bantuan Hukum. Dalam memberikan Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum berhak melakukan rekrutmen Paralegal sebagai pelaksana Bantuan Hukum. Pemberi Bantuan Hukum dapat merekrut Paralegal di luar pelaksana Bantuan Hukum yang telah terdaftar jika: "ketersediaan jumlah pelaksana Bantuan Hukum tidak mencukupi dalam menangani perkara; dan/atau tidak terdapat Pemberi Bantuan Hukum di wilayah tempat tinggal Penerima Bantuan Hukum."
Seperti yang telah disinggung pada Pasal 3 diatas bahwa pemberi bantuan hukum dapat memberikan bantuan hukum baik secara litigasi maupun nonlitigasi, ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum secara litigasi dan nonlitigasi lebih jelasnya telah termuat pada Pasal 12 dan Pasal 13 sebagai berikut:
"Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi oleh Paralegal dilakukan dalam bentuk pendampingan advokat pada lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang sama.
Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan, dan penuntutan; pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pendampingan advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan surat keterangan pendampingan dari advokat yang memberikan Bantuan Hukum.
Pasal 13
Pemberian Bantuan Hukum secara nonlitigasi oleh Paralegal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan melalui kegiatan: penyuluhan hukum; konsultasi hukum; investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; penelitian hukum; mediasi; negosiasi; pemberdayaan masyarakat;
pendampingan di luar pengadilan; dan/atau perancangan dokumen hukum.
Kebutuhan terhadap bantuan hukum bagi seseorang yang sedang menghadapi masalah hukum dirasa sangat penting. Tugas seorang pendamping atau pemberi bantuan hukum dalam proses hukum adalah untuk membantu hakim dalam menemukan kebenaran hukum, maka kepentingan seorang klien dalam menggunakan jasa seorang pendamping atau pemberi bantuan hukum adalah upaya mencari perlindungan terhadap hak-haknya yang secara hukum harus dilindungi. Dalam upaya melindungi kepentingan atau hak seorang klien itulah maka klien membutuhkan seorang pendamping, sebab hampir bagian terbesar masyarakat merupakan komunitas yang awam atau buta hukum. Dalam realitas yang demikian itu, keberadaan seorang pendamping dan pemberi bantuan hukum menjadi sangat penting.
Peran pemberi bantuan hukum tersebut dapat dilihat dari proses awal pengajuan perkara ke pengadilan tidak lepas dari perannya sebagai advokat dalam memberikan bantuan hukum, dari mulai mengurusi masalah administratif, sampai pada proses litigasi selesai. Selanjutnya peran pemberi bantuan hukum dalam Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
pendampingan di luar pengadilan; dan/atau perancangan dokumen hukum.
Kebutuhan terhadap bantuan hukum bagi seseorang yang sedang menghadapi masalah hukum dirasa sangat penting. Tugas seorang pendamping atau pemberi bantuan hukum dalam proses hukum adalah untuk membantu hakim dalam menemukan kebenaran hukum, maka kepentingan seorang klien dalam menggunakan jasa seorang pendamping atau pemberi bantuan hukum adalah upaya mencari perlindungan terhadap hak-haknya yang secara hukum harus dilindungi. Dalam upaya melindungi kepentingan atau hak seorang klien itulah maka klien membutuhkan seorang pendamping, sebab hampir bagian terbesar masyarakat merupakan komunitas yang awam atau buta hukum. Dalam realitas yang demikian itu, keberadaan seorang pendamping dan pemberi bantuan hukum menjadi sangat penting.
Peran pemberi bantuan hukum tersebut dapat dilihat dari proses awal pengajuan perkara ke pengadilan tidak lepas dari perannya sebagai advokat dalam memberikan bantuan hukum, dari mulai mengurusi masalah administratif, sampai pada proses litigasi selesai. Selanjutnya peran pemberi bantuan hukum dalam Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
- Mempercepat penyelesaian perkara administrasi, baik permohonan maupun gugatan dan bagi kelancaran persidangan di pengadilan.
- Membantu menghadirkan para pihak yang berpekara di pengadilan sesuai dengan jadwal persidangan.
- Memberikan pemahaman hukum yang berkaitan dengan duduk perkara dan posisinya, terhadap para pihak dalam menyampaikan permohonan atau gugatan atau menerima putusan pengadilan agama.
- Mendampingi para pihak yang berperkara di pengadilan agama, sehingga merasa terayomi keadilannya.
- Mewakili para piak yang tidak dapat hadir dalam proses persidangan lanjutan, sehingga memperlancar proses persidangan.
- Menjunjung tinggi sumpah advokat, kode etik profesi dalam menjalankan peran sesuai dengan tugas dan fungsinya.
1. Memberikan Pelayanan Hukum
Peranan pendamping dalam kasus wasiat tampak sekali dalam setiap proses perkara. Dalam memberikan pelayanannya, pendamping atau pemberi bantuan hukum terlebih dahulu menanyakan yang menjadi penyebab keinginannya mengajukan perkara wasiat tersebut ke pengadilan. Sebagai langkah awal, pendamping atau pemberi bantuan hukum juga memberikan alternatif jalan damai yang di mungkinkan agar permasalahan yang dihadapi kliennya bisa memperoleh penyelesaian tanpa harus di majukan ke sidang pengadilan. Meski akhirnya kasus yang menimpa kliennya juga masuk di meja pngadilan.
2. Memberikan nasehat hukum
Pemberian nasehat hukum kepada klien yang menjadi tanggungjawabannya diberikan semenjak pertama kali berhadapan dengan klien. Nasehat hukum ini diberikan agar klien memiliki kesadaran hukum terhadap permaasalahan yang sedang dihadapi. Bisa dimungkinkan dengan adanya nasehat awal ini ia dapat menyelesaikan perkara wasiat tersebut dengan cara kekeluargaan dan mencabut rencananya untuk mengajukan perkara ke pengadilan.
3. Membela kepentingan klien
Pendamping ataubpemberi bantuan hukum memiliki peranan membela kepentingan masyarakat dan kliennya dan dibutuhkan pada saat seseorang menghadapi masalah atau problem di bidang hukum.
4. Mewakili klien di muka pengadilan
Di sinilah tentunya peranan pengacara memiliki nilai arti penting. Sebagai pembawa surat kuasa dari kliennya, tentu ia memiliki andil yang besar dalam setiap prosesi persidangan. Ia bertindak sebagai wakil di dalam persidangan. Secara formil ia bersikap untuk membela kepentingan dan memperjuangkan hak-haknya kliennya.
Penanganan suatu perkara bisa melalui dua cara, yaitu penanganan secara litigasi dan nonlitigasi. Begitupun dengan penanganan perkara wasiat bisa secara litigasi dan nonlitigasi. Penyelesaian di luar pengadilan atau nonlitigadi didorong oleh semangat kekeluargaan untuk mencari titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menawarkan berbagai bentuk proses penyelesaian yang fleksibel dengan menerapkan beberapa bentuk mekanisme yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan demikian, sengketa diharapkan mencapai suatu keputusan yang adil dan final. Alternatif penyelesaian yang digunakan pada umumnya adalah mediasi, negosiasi dan arbitrase.
Wasiat sendiri telah dijelaskan dalam KHI menetapkan pengertian wasiat di dalam Pasal 171 huruf f yang menyatakan bahwa “Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia."
Kemudian di dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf c UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.”
Dalam hal wasiat tentu sangat mungkin terjadi sebuah persengketaan di dalamnya. Oleh karenanya ada beberapa kasus atau perkara wasiat di pengadilan, baik itu perkara wasiat wajibah dan lain sebagainya. Untuk menyeesaikan perkara wasiat tersebut terdapat beberapa cara penanganannya. Penyelesaian sengketa wasiat berdasarkan tradisi hukum positif Indonesia adalah:
1. Non-Litigasi
Wasiat sendiri telah dijelaskan dalam KHI menetapkan pengertian wasiat di dalam Pasal 171 huruf f yang menyatakan bahwa “Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia."
Kemudian di dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf c UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.”
Dalam hal wasiat tentu sangat mungkin terjadi sebuah persengketaan di dalamnya. Oleh karenanya ada beberapa kasus atau perkara wasiat di pengadilan, baik itu perkara wasiat wajibah dan lain sebagainya. Untuk menyeesaikan perkara wasiat tersebut terdapat beberapa cara penanganannya. Penyelesaian sengketa wasiat berdasarkan tradisi hukum positif Indonesia adalah:
1. Non-Litigasi
Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar Pengadilan dapat disampaikan sebagai berikut:
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi: “Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan : “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”
Pasal 1855 KUHPerdataPasal 1858 KUHPerdataAlternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal yakni Pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
2. Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak yang diselesaikan oleh pengadilan. Dalam kontek wasiat Lembaga Peradilan Agama melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.Penyelesaian wasiat yang melalui cara litigasi atau melalui pengadilan terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui, mulai dari pendaftaran perkara ke Pengadilam Agama dan melalui proses persidangan. Tahapan-tahapan penanganan perkara wasiat di persidangan adalah sebagai berikut:Upaya Perdamaian. Jika kedua belah pihak hadir dipersidangan dilanjutkan dengan mediasi PERMA No 1 Tahun 2008. Kedua belah pihak bebas memilih Hakim mediator yang tersedia di Pengadilan Agama Pelaihar tanpa dipungut biaya. Apabila terjadi perdamaian, maka perkaranya dicabut oleh Penggugat/Pemohon dan perkara telah selesai. Apabila tidak terjadi damai dalam mediasi, baik perkara perceraian maupun perkara perdata umum, maka proses pemeriksaan perkara dilanjutkan.Pembacaan Surat Gugatan Penggugat. Surat Gugatan Penggugat yang diajukan ke Pengadilan Agama itu dibacakan oleh Penggugat sendiri atau salah seorang majelis hakim, dan sebelum diberikan kesempatan oleh mejelis hakim kepada tergugat memberikan tanggapan/jawabannya, pihak penggugat punya hak untuk mengubah, mencabut atau mempertahankan isi surat gugatannya tersebut. Abala Penggugat menyatakan tetap tidak ada perubahan dan tambahan dalam gugatannya itu kemudian persidangan dilanjutkan ketahap berikutnya.Jawaban Tergugat. Setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan mengajukan jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang berikutnya.Replik Penggugat. Setelah Tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian si penggugat diberi kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapat penggugat. Pada tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya atau bisa pula merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat.Duplik Tergugat. Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menanggapinya/menyampaikan dupliknya.Pembuktian. Pada tahap ini, penggugat dan tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti, baik berupa bukti surat maupun saksi-saksi secara bergantian yang diatur oleh hakim.Kesimpulan Para Pihak. Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing.Musyawarah Majelis Hakim. Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasi ( Pasal 19 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004. Dalam rapat permusyawaratan majelis hakim , semua hakim menyampaikan pertimbangannya atau pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Putusan Hakim. Setelah selesai musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang, pada tahap ini dibacakan putusan majelis hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut, penggugat dan tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan diucapkan. Apabila penggugat/ tergugat tidak hadir saat dibacakan putusan, maka Juru Sita Pengadilan Agama akan menyampaikan isi/amar putusan itu kepada pihak yang tidak hadir, dan putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14 hari amar putusan diterima oleh pihak yang tidak hadir itu.
Kesimpulan
Pendampingan adalah pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum kepada pihak beperkara dalam suatu perkara dimaksudkan untuk membantu dalam persidangan. Ketentuan mengenai pendampingan atau pemberian bantuan hukum telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum.Peran pemberi bantuan hukum dapat dilihat dari proses awal pengajuan perkara ke pengadilan tidak lepas dari perannya sebagai advokat dalam memberikan bantuan hukum, dari mulai mengurusi masalah administratif, sampai pada proses litigasi selesai.
Dalam hal wasiat tentu sangat mungkin terjadi sebuah persengketaan di dalamnya. Oleh karenanya ada beberapa kasus atau perkara wasiat di pengadilan, baik itu perkara wasiat wajibah dan lain sebagainya. Untuk menyeesaikan perkara wasiat tersebut terdapat beberapa cara penanganannya yang diantaranya adalah penanganan secara litigasi dan nonlitigasi.
Daftar Pustaka
Sudikno Mertokusumo. 1982. Hukum AcaraPerdata Indonesia. Yogyakarta: Liberti.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum diakses dari ditjenpp. kemenkumham. go. id
Febri Handayani.Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Advokat dalam Mendampingi Klien dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Pekanbaru.Hukum Islam. Vol. XV No. 1.
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini. 2003. Advokad Dalam Perspektif Islam & Hukum Positif. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ririn Noviyanti. Penyelesaian Sengketa dalam Sejarah Peradaban Islam diakses dari https://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/mahakim/article/download/454/290
Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Junaidi Abdullah dan Nur Qodin. Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif. Jurnal Zakat dan Wakaf. ZISWAF, Vol. 1, No. 1.
Tahapan Proses Perkara, https://web.pa-sumber.go.id/layanan-publik/tahapan-tahapan-perkara.
Komentar
Posting Komentar